Bab 1: Lahir Kembali
---
Tangisan malam disapu angin musim gugur ketika suara jeritan seorang perempuan pecah di sebuah rumah kayu sederhana di pinggiran Desa Norwyn.
“Ayo, sedikit lagi, Elira!” seru seorang wanita tua yang bertindak sebagai bidan. Tangannya penuh darah dan keringat saat membantu proses persalinan.
Elira, seorang petani muda berambut cokelat kusam, menggenggam erat tangan suaminya. Nafasnya tersengah-sengah, keringat membasahi wajahnya, dan rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya.
Dengan napas tertahan dan tubuh gemetar, Elira mendorong untuk terakhir kalinya. Tangis bayi laki-laki pun kencang, memenuhi ruangan dengan haru dan kehidupan yang baru.
“Dia laki-laki!” ujar sang perawat dengan senyum lega, mengangkat bayi yang masih merah dan penuh darah itu ke udara.
Namun saat mata bayi itu terbuka... seberkas cahaya aneh melintas dalam pupilnya. Sebuah kesadaran yang terlalu dalam, terlalu tua, untuk seorang bayi baru lahir.
Kesadaran Shiro Kanzaki perlahan bangkit di tengah keheningan yang mencekam. Bukan gelap total, tapi bayangan samar cahaya yang menandakan awal dari sesuatu yang baru. Saat tangisan pertamanya pecah di udara, Shiro tahu satu hal yaitu ia tidak mati. Ia telah dilahirkan kembali.
Dunia di sekitarnya belum berubah. Aetherion. Dunia yang sama tempat ia tumbuh dan bertarung di kehidupan sebelumnya. Dunia yang penuh dengan kekuatan elemen, konflik para Penguasa, dan rahasia kuno yang membentuk takdir umat manusia.
Tapi tubuhnya kini mungil dan tak berdaya. Ia bukan lagi pemuda kuat yang dulu dikenal sebagai pewaris elemen api. Kini, ia hanyalah bayi dari keluarga desa sederhana di pinggiran wilayah timur Aetherion. Kedua orang tuanya petani biasa, tanpa nama besar atau darah bangsawan.
Desa Norwyn terletak di lembah kecil yang dikelilingi oleh pegunungan dan hutan cemara. Tanahnya subur, penduduknya ramah, dan kehidupan berjalan dengan ritme damai yang jarang terganggu oleh urusan dunia luar. Anak-anak bermain dengan tongkat dan batu, para lelaki membajak ladang sejak fajar, dan para perempuan menenun serta menjaga kebun ramuan.
Namun, di tengah kedamaian itu, selalu ada bisikan. Cerita-cerita tentang pertempuran di utara, tentang Eren Valenheart, sang penguasa Kegelapan yang mulai membentuk pasukan bayangan. Tentang badai yang datang lebih awal dari seharusnya, dan binatang-binatang liar yang mulai turun dari gunung. Orang-orang menyebutnya pertanda, tapi tak ada yang benar-benar peduli. Tidak di desa kecil seperti Norwyn.
Meski tubuhnya kini lemah, pikiran Shiro tetap utuh. Ingatannya tentang kehidupan sebelumnya tidak menghilang. Ia adalah seorang pejuang yang menguasai elemen api dengan sempurna, dan pernah bertempur dalam perang besar melawan kekuatan kegelapan. Ia masih mengingat jelas bagaimana teman-temannya bertarung mati-matian di sisinya, menghadapi gelombang musuh yang tak ada habisnya.
Pada akhirnya, mereka semua harus berhadapan langsung dengan Eren Valenheart sang penguasa Kegelapan dalam pertempuran terakhir yang menentukan. Pertempuran itu membawa kehancuran besar, dan satu per satu sahabatnya gugur. Hingga akhirnya, segalanya berakhir dalam kematian... termasuk dirinya, "Namun yang tak bisa ia pahami adalah satu hal mengapa ia diberi kesempatan untuk hidup kembali?".
Hari-hari berlalu, shiro hanya bisa mengamati dan mendengar. Tapi rasa aneh muncul dalam dirinya. Sesuatu yang asing, yang tidak berasal dari elemen api yang ia kuasai dulu
Suatu sore, saat ibunya menggendong Shiro dan berjalan menuju dapur, tiba-tiba langkahnya terhenti. Tubuhnya diam di tempat, seperti membatu. Tatapannya kosong, seolah pikirannya menghilang sesaat. Tanpa berkata apa pun, ia perlahan menurunkan Shiro ke lantai, lalu melangkah menuju panci air di pojok dapur. Wajahnya tetap datar, tak menunjukkan emosi apa pun seperti sedang dikendalikan. Beberapa detik kemudian, ia berkedip dan terlihat kebingungan, lalu kembali bergerak seperti biasa. Ia tak sadar telah melakukan sesuatu di luar kehendaknya.
Shiro terdiam. Ia tahu itu bukan kebetulan. Entah bagaimana, ia telah menggerakkan tubuh ibunya bukan dengan tangan, tapi dengan kehendak. Ia mencoba lagi di malam hari, saat seekor kucing desa lewat dekat jendela. Ia fokus, menatap, dan memikirkan satu gerakan menyuruh kucing itu duduk, dan kucing itu... duduk seolah-olah diperintah.
Kekuatan ini bukan berasal dari elemen api. Ia merasakannya muncul dari dalam dirinya yaitu sebuah kekuatan tersembunyi yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Bukan elemen, bukan sihir biasa. Tapi kehendak murni yang mampu memengaruhi tubuh makhluk hidup lain. Ia bisa menggerakkan mereka... tanpa menyentuh, tanpa bicara. Hanya dengan pikiran dan niat. Kekuatan itu asing, tapi anehnya terasa sangat akrab. Seolah sejak awal memang ditakdirkan menjadi bagian dari dirinya.
Ia tidak tahu bagaimana mengendalikannya dengan sempurna, dan kekuatannya muncul hanya saat ia benar-benar fokus atau emosinya meluap. Tapi satu hal pasti ini adalah kekuatan tersembunyi pertamanya. Dan ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Beberapa malam setelah kejadian itu, Shiro bermimpi. Dalam mimpinya, ia berdiri di atas danau yang tenang. Langit kelam tanpa bintang, dan di hadapannya berdiri sosok berjubah bayangan. Sosok itu mengulurkan tangan dan berbisik, "Saatnya akan tiba... ruang dan waktu itu akan patuh padamu."
Shiro terbangun dengan keringat dingin. Ia tak tahu apa arti mimpi itu, tapi rasa aneh berdenyut di balik dadanya. Seolah ada sesuatu yang belum bangkit... kekuatan kedua yang menanti waktu yang tepat untuk muncul.
Saat usianya menginjak empat tahun, Shiro mulai menjelajah lebih jauh dari rumah. Ia bukan anak biasa pikirannya masih menyimpan memori kehidupan lama, dan rasa ingin tahunya begitu besar.
Suatu hari, ia menyelinap keluar dari kebun belakang dan menyusuri jalan setapak kecil yang tersembunyi di antara semak dan pohon cemara. Langkah kecilnya membawanya ke tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya, sebuah lembah kecil tersembunyi, dikelilingi pepohonan tinggi, dengan sungai jernih mengalir tenang di tengahnya. Tempat itu sunyi, terlindung dari pandangan penduduk desa. Hanya suara air, angin, dan burung-burung liar yang menemani.
Shiro berdiri di tepi sungai. Ia bisa merasakan energi alam mengalir lebih kuat di tempat ini udara terasa lebih ringan, dan suara dalam hatinya lebih jelas. “Ini... tempat yang cocok untuk berlatih,” gumamnya.
Sejak saat itu, ia menjadikan tempat itu sebagai markas rahasianya. Ia datang setiap pagi ketika orang tuanya sibuk, membawa sepotong roti dan air, lalu berlatih hingga matahari terbenam.
Latihan pertamanya adalah mengendalikan elemen api yang dulu menjadi ciri khasnya. Ia mulai dari menggosok dua batu, lalu mempercepatnya dengan mengumpulkan panas dari tubuhnya. Butuh waktu berminggu-minggu sebelum percikan kecil muncul. Tapi ketika ia akhirnya berhasil menyalakan nyala api dari telapak tangannya sendiri, rasa puas di wajahnya tak bisa disembunyikan
Namun elemen api bukan satu-satunya hal yang ia latih.
Saat tubuh dan pikirannya cukup kuat untuk fokus, ia mulai mencoba kekuatan barunya kemampuan untuk mempengaruhi makhluk hidup. Ia memanggil burung, tupai, bahkan kadal, lalu memusatkan pikirannya untuk menggerakkan mereka dengan kehendaknya. Ia masih belum sepenuhnya mengerti sumber kekuatan ini, tapi semakin hari kendaliannya semakin presisi.
Sampai suatu sore, ketika ia tengah melatih keduanya sekaligus menyalakan api kecil di satu tangan, dan menahan seekor burung diam di udara dengan pikirannya suara ranting patah terdengar dari semak dekat sungai.
Shiro reflek memadamkan kekuatan apinya dan berbalik dan menatap seorang anak perempuan.
Seorang anak perempuan, mungkin sebaya dengannya, berdiri mematung. Rambut peraknya bersinar terkena sinar sore, dan matanya yang berwarna biru bening menatapnya penuh rasa ingin tahu. Di sekeliling kakinya, embun mulai membentuk lingkaran kecil... air merespons kehadirannya.
Anak itu melangkah maju dengan hati-hati. “Kau... kau bisa mengendalikan elemen api?” tanya dengan pelan. “Dan... itu barusan, burung itu... kau yang mengendalikannya?”
Shiro mengangguk, “Kau... juga punya kekuatan?”
Anak permpuan itu tersenyum. “Namaku Verneth, Verneth Nihil. Aku bisa menggunakan elemen air.”
Shiro menatapnya sejenak. Lalu, perlahan tersenyum kembali. “Aku Shiro, Shiro Kanzaki. Aku bisa menggunakan elemen api.”
Sejak pertemuan itu, mereka mulai bertemu setiap hari di tempat tersembunyi itu. Mereka melatih kekuatan mereka bersama Verneth dengan airnya yang lentur, Shiro dengan api dan kekuatan pikirannya yang misterius. Kadang mereka tertawa, kadang bersaing, dan kadang saling membantu memahami kekuatan yang belum mereka kuasai sepenuhnya.
Disaat usia mereka berumur tujuh tahun, Shiro dan Verneth semakin mahir mengendalikan kekuatan masing-masing. Tempat rahasia di lembah tersembunyi itu menjadi medan latihan mereka sebuah dunia kecil yang terpisah dari hiruk-pikuk desa. Di sana, Shiro mulai menyempurnakan kendali api dan kehendaknya, sementara Verneth menari dengan air seperti bagian dari dirinya sendiri. Gerakan mereka semakin padu, seolah kekuatan mereka saling melengkapi.
Menjelang matahari terbenam, saat cahaya jingga mulai merambat di antara pepohonan, udara tiba-tiba berubah dingin dan berat. Burung-burung berhenti berkicau, dan suara alam menghilang.
“Kau merasakan itu?” tanya Verneth.
Shiro mengangguk. “Ada sesuatu yang datang... dan bukan sesuatu yang baik.”
Tiba-tiba, langit desa Norwyn dari arah timur menghitam. Asap tebal dan jeritan menggema dari kejauhan. Mereka berlari kembali ke arah desa dengan jantung berdegup kencang. Dan saat mereka tiba dunia mereka runtuh.
Api dan bayangan melahap rumah-rumah. Pasukan bayangan milik Eren Valenheart menyerbu dari segala arah makhluk berjubah, bermata merah, membawa senjata kegelapan yang mampu memotong logam dan jiwa sekaligus. Penduduk desa berlari tanpa arah, jeritan mereka berpadu dengan suara senjata yang beradu dan suara teriakan yang menggema di tengah kobaran api dan reruntuhan.
Shiro menggertakkan gigi. Amarah membakar dadanya. Tanpa ragu, ia melompat ke dalam kerumunan pasukan bayangan. Api menyembur dari tangannya, meledak ke segala arah. Ia bertarung seperti masa lalunya kembali dan meskipun tubuhnya masih kecil, tapi tekadnya tak tergoyahkan. Tapi musuh terlalu banyak. Terlalu kuat. Kekuatan kehendaknya tak mampu menghentikan semuanya sekaligus.
Sementara itu, Verneth berdiri di tengah para warga yang ketakutan. Ia mengangkat tangannya, dan air dari sumur serta saluran-saluran kecil bergerak atas perintahnya, membentuk perisai air yang menghalangi serangan demi serangan. Ia mencoba melindungi sebanyak mungkin orang, namun serangan pasukan bayangan sangat banyak.
Dalam kekacauan itu, orang tua Shiro dan Verneth berhasil menarik beberapa penduduk ke luar desa lewat jalan rahasia yang hanya diketahui oleh orang dalam. Sebagian besar rumah rata dengan tanah, dan mayat bergelimpangan di jalanan. Akhirnya, ketika malam jatuh dan pasukan bayangan menghilang seperti kabut, hanya sedikit yang tersisa.
Desa Norwyn telah hancur.
Dengan luka dan duka rombongan yang selamat dari kehancuran desa lalu meninggalkan puing-puing Desa Norwyn yang hancur. Dipimpin oleh para tetua desa dan didampingi oleh Shiro, Verneth, orang tua mereka, dan warga lainnya yang selamat dari pasukan bayangan eren valenheart, kebanyakan penduduk mengalami trauma serta terluka lalu mereka menempuh perjalanan menuju ke arah barat, yaitu kerajaan Elyndor salah satu tujuh kerjaan besar di Aetherion yang masih berdiri untuk mengalahkan kekuatan kegelapan.
Di sepanjang perjalanan, mereka menghadapi Malam-malam dingin tanpa cahaya atau harapan, tanah licin yang nyaris menjatuhkan mereka ke jurang, ditemani suara liar dari binatang binatang di dalam hutan yang membuat setiap langkah terasa diawasi. Beberapa nyaris menyerah, namun tekad dan rasa kehilangan memaksa mereka terus melangkah.
Hingga akhirnya, mereka melihat menara keemasan Elyndor tampak di kejauhan. Tembok tinggi kerajaan berdiri megah di bawah langit senja, seolah menjadi harapan terakhir yang bersinar di tengah reruntuhan hidup mereka. Mereka telah tiba. Lelah, namun hidup.
Di kerajaan Elyndor menawarkan tempat tinggal sederhana dan perlindungan bagi para pengungsi. Di sana, Shiro dan Verneth berusaha membangun kembali kehidupan mereka. Tapi luka di dalam hati mereka tak mudah sembuh. Mereka telah kehilangan rumah… dan masa kecil mereka.
Setelah menetap di Kerajaan Elyndor, Shiro dan Verneth menyadari satu hal—mereka belum aman, dan dunia belum selesai menuntut perjuangan mereka. Di balik bayang-bayang tembok batu dan kemewahan istana, keduanya menemukan lorong tua yang terlupakan, tersembunyi di bawah gudang penyimpanan. Reruntuhan itu sunyi, lembap, dan dingin… namun sempurna untuk berlatih tanpa menarik perhatian. Di tempat itu, mereka mengasah kekuatan, menyusun strategi baru, dan bersiap menghadapi ancaman yang masih membayangi tanah Aetherion. Pada suatu pagi, saat mereka berjalan melewati pusat kota Elyndor, mata Shiro menangkap selembar kertas yang terpaku di papan pengumuman di samping gedung guild petualang.
Kertas itu bertuliskan:
"Pendaftaran Dibuka: Akademi Caelora. Terbuka untuk siapa saja yang memiliki kekuatan, atau potensi luar biasa. Terutama anak-anak yang menunjukkan bakat luar biasa, Latih kekuatanmu, dan jadilah harapan bagi masa depan Aetherion."
Mereka saling berpandangan. Tanpa kata-kata, mereka tahu apa yang harus dilakukan.
Keesokan harinya, mereka mendaftar ke Akademi Caelora, akademi elit yang dikenal melatih para pengguna elemen, taktis, dan penjaga kerajaan berkata ada tiga ujian yaitu, pertama ujian kekuatan dan kepintaran, kedua ujian ketahanan dan disiplin, ketiga ujian duel antar peserta.
Ujian pertama adalah seleksi kekuatan dan kepintaran.
Para calon berdiri di tengah lingkaran sihir kuno, menghadapi teka-teki elemen dan ilusi magis. Shiro, dengan tenang, memanipulasi api untuk memecahkan pola simbol kuno, sementara Verneth menggunakan kendali airnya untuk membuka jalur tersembunyi yang hanya bisa diakses lewat refleksi cahaya. Di sini, bukan hanya kekuatan yang diuji, tapi bagaimana mereka berpikir di bawah tekanan.
Ujian kedua adalah ketahanan dan disiplin.
Calon peserta dikirim ke dalam medan simulasi yang keras—tanpa sihir, tanpa bantuan. Hanya bertahan hidup selama tiga hari dengan sumber daya terbatas. Malam pertama, Shiro melindungi kelompok kecil dari makhluk bayangan dengan api yang hampir padam, sementara Verneth memimpin mereka melewati jurang berkabut dengan kecermatan dan keteguhan hati. Setiap langkah mereka dicatat oleh pengawas tak kasatmata.
Ujian ketiga adalah duel antar peserta.
Arena dibuka. Satu per satu, calon peserta diadu dalam pertempuran nyata. Shiro dipertemukan dengan calon kuat dari wilayah utara duel yang membuat api di sekeliling arena membara. Verneth, dalam pertarungan tim, menunjukkan keanggunan bertarung yang mematikan, mengombinasikan pertahanan dan serangan dengan ketepatan surgawi. Di sinilah batas kekuatan dan kerja sama benar-benar diuji. Hanya yang mampu membaca lawan dan bertindak cepat yang mampu melangkah lebih jauh.